Suara.com – Saat pandemi coronavirus terus berkembang secara internasional, mulai terlihat jelas garis patahan baru dalam perekonomian kita yang terhubung secara global. Rantai pasokan telah muncul sebagai korban utama.
Permasalahan ini melintasi industri dan geografi. Pembuat mobil di Korea Selatan telah berhenti produksi karena kurangnya suku cadang dari Tiongkok, dan jumlah komponen untuk produsen smartphone dilaporkan sudah sangat rendah.
Menurut laporan terbaru dari Baker McKenzie dan Oxford Economics yang ditulis oleh Riza Buditomo, Partner di Hadiputranto, Hadinoto & Partners, firma anggota Baker McKenzie International yang dikirimkan ke Suara.com menyebut, masalah rantai pasokan ini diperkirakan akan menghasilkan kerusakan besar dalam perdagangan global, yang mengarah ke penurunan sebesar 4% pada kuartal pertama 2020, dan bahkan penurunan lebih jauh di kuartal kedua.
Laporan tersebut, Beyond COVID 19: Beyond COVID 19: Supply Chain Resilience Holds Key to Recovery, juga menyoroti munculnya ‘manufacturing deserts’ atau ‘gurun manufaktur’ sementara, di mana produk di kota, wilayah, atau bahkan seluruh negara mengering secara substansial karena kondisi lockdown sehingga lokasi tersebut menjadi zona terlarang untuk mendapatkan apa pun selain dari barang-barang penting seperti bahan makanan dan obat-obatan.
Sekarang saatnya bagi bisnis untuk memahami bagaimana mereka dapat mengelola dan mengurangi risiko agar menjadi lebih kuat di sisi lain.
Sebesar apa skala masalahnya?
Bisnis manufaktur di Indonesia sudah merasakan dampak dari perubahan lanskap ini. Pada bulan Maret menunjukkan bahwa impor barang modal menurun 18% year-on-year (YoY) menjadi 1,8 miliar dolar AS, merupakan dampak tidak langsung dari gangguan rantai pasokan di antara mitra dagang utama termasuk Jepang, Korea Selatan dan Thailand.
Akibatnya, aktivitas pabrik pada kuartal pertama 2020 mencatat penyusutan terbesar dengan rekor 45,64 persen, menurut Indeks Prompt Manufacturing oleh Bank Indonesia.
Sejumlah faktor lainnya juga memperumit situasi. Di sektor informal, yang meliputi pekerja wiraswasta, 57% dari keseluruhan lapangan kerja Indonesia merupakan bisnis yang dibantu oleh pekerja sementara, pekerja lepas dan pekerja tidak dibayar.
Kendati larangan perjalanan pulang mudik yang diberlakukan sejak tanggal 26 April telah menghentikan perjalanan masyarakat umum, pengecualian bagi pergerakan komoditas dan bahan baku dapat membantu bisnis kecil untuk tetap bertahan.
Di sektor formal, penjualan dan pendapatan telah komoditas non-esensial telah mengalami penurunan, tetapi permintaan untuk komoditas esensial seperti makanan, kesehatan dan produk-produk terkait sanitasi semuanya mengalami kenaikan.
Mengelola perubahan ini adalah wilayah yang belum dipetakan untuk bisnis di Indonesia yang ingin merestrukturisasi rantai pasokan mereka. Tindakan baru social distancing diartikan bahwa lebih dari 34 juta orang menghadapi Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) di Jakarta dan kota-kota satelit.
Dengan PSBB diberlakukan juga di luar ibukota hingga Pekanbaru (kota pertama di luar Jawa yang meluncurkan PSBB), situasi di Indonesia lebih kompleks daripada tindakan lockdown yang diterapkan di negara-negara tetangga ASEAN.
Yang membedakan PSBB Indonesia dari lockdown nasional adalah pendekatan ini telah diterapkan pada daerah-daerah tertentu yang disetujui oleh Departemen Kesehatan.
Penerapan PSBB menargetkan kegiatan tertentu di daerah yang sudah diduga memiliki infeksi COVID-19 dengan tujuan mencegah penyebaran lebih lanjut. Sejauh ini, Depkes telah memberlakukan PSBB di Jawa Timur termasuk Surabaya.
Selanjutnya, pemerintah daerah Jawa Tengah telah memberlakukan pembatasan pada kegiatan masyarakat di Semarang. Namun, pemerintah belum memberlakukan batasan apa pun untuk Medan.
Hal positif bagi Indonesia adalah pusat-pusat manufaktur di provinsi lain seperti Medan mungkin masih dapat beroperasi secara mandiri dengan pelabuhan dan infrastruktur lokal.
Pengaturan pembatasan yang unik menghindari adanya lockdown nasional, sehingga memberikan harapan bahwa kota-kota ini masih dapat secara aktif berdagang dan memindahkan barang, dengan demikian masih menghasilkan sedikit pendapatan untuk ekonomi Indonesia.
Implikasi untuk ASEAN
COVID-19 telah menguatkan fakta yang menjadi jelas saat perang perdagangan AS-Tiongkok pada tahun 2019 – risiko ketergantungan pada satu sumber atau negara di rantai pasokan global yang kompleks dan saling terkait. Ketika industri di Batam mengalami kemandekan pada bulan Februari, hal itu merupakan efek langsung dari penutupan pabrik di Tiongkok yang telah menghentikan aliran bahan baku penting.
Sejak kegaduhan perang perdagangan AS-Tiongkok pertama kali dirasakan, perusahaan-perusahaan di seluruh Asia secara aktif mencari pemindahan sumber produksi. Pada awal Juni 2019, Apple dilaporkan meminta pemasok untuk menyelidiki biaya perpindahan hingga 30% kapasitas produksi dari Tiongkok ke Asia Tenggara.
Ketika produksi Tiongkok ditahan setelah tahun baru imlek, perusahaan-perusahaan besar terlihat memindahkan produksinya, baik untuk jangka pendek atau secara permanen. Nintendo Co. mengalihkan sebagian produksi konsol Nintendo Switch Lite ke Vietnam, dan ada laporan bahwa Google mempercepat rencana untuk memindahkan produksi ponsel Pixel 4A ke Vietnam dan beberapa perangkat rumah pintar ke Thailand.
Dalam jangka pendek, pembatasan pergerakan dan kegiatan ekonomi seperti yang telah kita lihat di Indonesia dan negara-negara tetangga kemungkinan akan menahan pergeseran rantai pasokan lebih lanjut di wilayah tersebut.
Namun ketika negara-negara berhasil mengatasi krisis ini dan mendapatkan pelajaran tentang perlunya rantai pasokan yang lebih tangguh dan beragam, negara-negara ASEAN dapat menerima manfaat dari permintaan ini.
Pergeseran rantai pasokan – implikasi hukum
Dengan semakin berkembangnya konsensus tentang perlunya menggeser rantai pasokan, apa yang perlu dipertimbangkan perusahaan untuk menerapkannya? Ada empat tantangan hukum utama yang perlu dipertimbangkan ketika berpikir tentang pergeseran rantai pasokan: perpajakan, pekerjaan, kekayaan intelektual, dan risiko kepatuhan (compliance risks).
Perusahaan yang mempertimbangkan perubahan perlu mempertimbangkan pajak dan peraturan pemerintah negara tersebut dan memastikan bahwa mereka mematuhi undang-undang dan peraturan negara, serta memahami implikasinya bagi keuntungan mereka.
Masalah-masalah yang terkait dengan pekerjaan, seperti upah, kondisi kerja, dan visa menghadirkan rintangan lain, dengan kewajiban hukum yang berbeda di berbagai yurisdiksi wilayah.
Perusahaan juga harus mempertimbangkan risiko yang terkait dengan pelanggaran merek dagang dan paten. Khususnya bagi perusahaan yang menggunakan proses manufaktur yang mengandalkan teknologi khusus, kesadaran atau penegakan yang rendah atas hak kekayaan intelektual dapat menimbulkan risiko yang mahal.
Yang terakhir, ada risiko kepatuhan yang terkait dengan hukum setempat. Perusahaan perlu memastikan bahwa mereka tidak terpapar risiko ketidakpatuhan dalam hal praktik bisnis yang dilakukan oleh pemasok atau pihak ketiga yang bertindak atas nama mereka.
Masa depan yang lebih tangguh
COVID-19 menghadirkan tantangan unik bagi bisnis dan rantai pasokan Indonesia. Namun, dengan perencanaan dan persiapan yang cermat, bisnis dapat menciptakan rantai pasokan yang lebih tangguh yang akan membantu melindungi mereka dari risiko sekarang dan di masa depan.
https://www.suara.com/bisnis/2020/06/03/113543/membaca-besarnya-kerusakan-ekonomi-yang-timbul-akibat-covid-19
Leave a Reply